Penumpang Terlantar, DKI Diminta Kaji Kebijakan Larangan APTB

Sudah bagus ada APTB, sudah enak untuk masyarakat ada APTB eh malah dirubah rubah kebijkannya, ya sudah pakai mobil pribadi lagi ya. APTB sudah senyaman mobil pribadi dari segi duduk dan jalurnya, kalau transjakarta sih masih penuh sesak dan panas haltenya.

Sejumlah operator Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) meminta agar Pemprov DKI mengkaji kembali keputusanya perihal dilarangnya armada bus APTB masuk ke dalam jalur bus Transjakarta. Sejumlah penumpang APTB terlantar pasca dilarangnya armada masuk ke dalam jalur busway 1 Juni lalu.

Dirut Perum PPD Pande Putu Yasa mengatakan, sejak dikeluarkannya Surat Edaran Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI No. 3765/-1.819 perihal Penghentian Layanan APTB ter tanggal 12 Mei 2016 tentang pencabutan izin penyelengaraan APTB, APTB dilarang melalui jalur Transjakarta per 1 Juni. Dengan begitu, sebanyak 193 APTB yang melayani 17 trayek untuk mengangkut penumpang sekitar satu juta per tahun, harus melalui jalur jalan reguler untuk beroperasi keluar masuk Jakarta.

Akibatnya, kata Pande, banyak penumpang dari luar Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok sulit melanjutkan perjalanan mereka. Sebab, untuk mencapai tujuanya, penumpang APTB tidak bisa lagi turun di halte Transjakarta, melainkan turun di halte jalan reguler.

Kemudian melanjutkan lagi perjalanannya dengan menggunakan angkutan umum lainnya atau transjakarta dengan membayar kembali. "Kami berharap Pemprov DKI mengkaji kembali kebijakan operasional APTB dijalur reguler. Jangan sampai pengguna bus beralih ke kendaraanpribadi," kata Pande Putu Yasa saat dihubungi, Rabu 8 Juni 2016 kemarin.

Sebagai operator, Pande menawarkan dua solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Pertama, bus APTB boleh berhenti di halte Transjakarta terdekat. Kedua, penumpang APTB boleh melanjutkan perjalanan tanpa melakukan pembayaran kembali.

Dengan begitu, lanjut Pande, penumpang dapat mencapai tujuannya dengan mudah. Paling tidak, solusi tersebut  dapat dijalankan sambil menunggu penentuan besaran rupiah per kilometer (rp/km) disahkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah (LKPP). Sebab, pada intinya, keenam operator APTB bersedia bergabung dengan Transjakarta.

Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan mengatakan, kepemimpinan DKI saat ini sangat ironis. Menurutnya, demi kepentingan bisnis pribadi, pelayanan masyarakat dikorbankan.

"Sekarang begini, apa mereka sudah punya solusi yang bisa diterapkan ketika kebijakan larangan diberlakukan. Kalau pakai logika, disiapkan dulu penggantinya baru dilarang. Dampaknya ya masyarakat yang dikorbankan," pungkasnya.

Shafruhan menjelaskan, pada prinsipnya seluruh operator setuju untuk mengikuti sistem rupiah perkilometer. Namun, semuanya ada proses. Apalagi operasional APTB yang jelas kehadiranya merupakan permintaan penguasa dalam hal ini Pemprov DKI.

Sebagai penguasa yang melahirkan keberadaan APTB, lanjut Shafruhan, DKI harusnya dapat memberikan solusi bukan malah mematikan keberadaan pengusahan operator APTB. Terkecuali, pengusaha bisa membuat regulator.

"Kami paham hal itu dilakukan karena mereka sudah punya bus Transjabodetabek. Tapi apa semuanya sudah beroperasi, apa sudah ada rupiah per kilometernya di LKPP? Kalau sudah ada kenapa operator APTB tidak boleh ikut? Setahu saya mereka mensubisidi tanpa tayang di LKPP. Bogor saja belum beroperasi," ujarnya.